Cari Blog Ini

Sabtu, 02 April 2011

perekonomian paska kemerdekaan

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
            Letak geografis Indonesia yang terletak antara benua Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua.  Dan merupakan salah satu jalan sutra, yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India.  Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat ( kekaisaran Romawi ).
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar.  Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas, karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia.
Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat di bagi dalam empat periode, yaitu periode pra kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan reformasi( reformasi, gotong royong, Indonesia bersatu I dan Indonesia bersatu II ).






BAB II
ISI

II.1 Perkembangan Perekonomian Indonesia
            Dinamika pembangunan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
Ø  Faktor Internal: kondisi fisik (iklim), lokasi geografis, jumlah dan kualitas sumber daya alam, sumber daya manusia, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, system politik, dan peran pemerintah dalam pembangunan
Ø  Faktor eksternal: perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, dan keamanan global
            Ada banyak anggapan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang itu karena bekas jajahan Belanda sedangkan Malaysia, Hongkong, India dan Singapura mempunyai pembangunan yang lebih maju karena dijajah oleh Inggris.  Anggapan seperti itu adalah salah besar karena keberhasilan pembangunan ekonomi  suatu negara tidak ditentukan oleh siapa penjajahnya, tapi ditentukan oleh:
Ø  Orientasi politik.
Ø  Sistem ekonomi.
Ø  Kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi setelah pemerintahan penjajah.
            Mari kita berkaca, keadaan politik kita tidak sebaik negara-negara maju itu, orientasi politik kita lebih cenderung kepada siapa yang berkuasa bagaimana caranya untuk tetap mempertahankan kekuasaannya, dan mensejahterakan individu ataupun kelompoknya masing-masing. Sistem ekonomi yang kita anut sering berubah-ubah terkesan seperti mengambang, dibilang menganut sistem ekonomi campuran juga tidak. Karena banyak sekali kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan segelintir pengusaha swasta bukan masyarakat secara keseluruhan. Adanya politik balas dendam sering mengakibatkan kebijakan pemerintah sebelumnya di ganti dengan kebijakan pemerintah yang baru, dan apabila itu terus berlanjut akan berdampak pada tidak terselesaikannya program-program pemerintah yang ada.

II.2. Perekonomian Indonesia dari Periode ke Periode
·         Periode Pra Kemerdakaan
            Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.  Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini.

·         Masa Kependudukan Belanda
            Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC ( Vereenigde Oost-Indische Compagnie ) sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris).  Untuk mempermudah langkahnya diHindia Belanda ( Indonesia dulu ). VOC diberikan hak-hak istimewa, antara lain:
Ø  Hak mencetak uang.
Ø  Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai.
Ø  Hak menyatakan perang dan damai.
Ø  Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri.
Ø  Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja.

            Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda.  Namun, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.  Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu.
VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie ( kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten ( pajak hasil bumi ) dirancang untuk mendukung monopoli itu.  Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie ( pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan ). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.  Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda.  Tetapi, pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.  Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC.
            Selain VOC, pemerintah Belanda juga memberlakukan sistem Cultuurstelstel ( sistem tanam paksa ) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch.  Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia.  Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll.  Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi ( monopoli ekspor ).  Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
 Sistem ini digunakan dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi.  Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka.  Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
            Selain VOC dan cultur stelstel pemerintah Belanda juga memberlakukan sitem ekonomi pintu terbuka yang mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya.  Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.

·         Masa Kependudukan Inggris ( 1811-1816 )
            Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent ( pajak tanah ). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang hanya seumur jagung di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan oleh:
Ø  Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
Ø  Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
Ø  Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.

·         Masa Kependudukan Jepang ( 1942-1945 )
            Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.

Periode kemerdekaan
·         Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi (keuangan) Indonesia pada masa awal kemerdekaan amat buruk. Penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut  :
a.       Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
b.      Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.( Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.)
c.       Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
d.      Kas negara kosong.
e.      Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50,Rp 1000 menjadi Rp 100.
b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.
Jadi kesimpulannya sejarah bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sangat buruk,bahkan bisa dikatakan pemerintah belum bisa menyanggah perekonomian yang terpuruk,dan ironisnya malah menambah kegagalan perkembangan ekonomi pada saat masa-masa tersebut.


Periode Orde Lama
·         Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI. Kas negara kosong. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
Ø  Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
Ø  Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.

Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu Masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947. Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

·         Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a.       Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b.      Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menunbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c.       Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d.      Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e.       Pembatalan sepihak atas hasil-hasil KMB, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
f.       Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.

·         Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :
a.       Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b.      Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
c.       Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.

·         Periode Orde Baru
Pada awal orde baru, stabilisasi ekonomi dan stabilisasi politik menjadi prioritas utama. Program pemerintah berorientasi pada usaha pengendalian inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Pengendalian inflasi mutlak dibutuhkan, karena pada awal 1966 tingkat inflasi kurang lebih 650 % per tahun.
Setelah melihat pengalaman masa lalu, dimana dalam sistem ekonomi liberal ternyata pengusaha pribumi kalah bersaing dengan pengusaha nonpribumi dan sistem etatisme tidak memperbaiki keadaan, maka dipilihlah sistem ekonomi campuran dalam kerangka sistem ekonomi demokrasi pancasila. Ini merupakan praktek dari salah satu Teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian secara terbatas. Jadi, dalam kondisi-kondisi dan masalah-masalah tertentu, pasar tidak dibiarkan menentukan sendiri. Misalnya dalam penentuan UMR dan perluasan kesempatan kerja. Ini adalah awal era Keynes di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah mulai berkiblat pada teori-teori Keynes. Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan yaitu kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Semua itu dilakukan dengan pelaksanaan pola umum pembangunan jangka panjang (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan lima tahun).
Hasilnya, pada tahun 1984 Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menggalakkan preventive checks untuk menekan jumlah kelahiran lewat KB dan pengaturan usia minimum orang yang akan menikah. Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber-sumber daya alam, perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri.
Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.

·         Periode Indonesia Bersatu 1 dan 2
Tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II mengusung misi tinggi. Pertumbuhan ekonomi 8 persen dipatok sebagai target yang harus dicapai.Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pihaknya berpegang pada roadmap Kadin yang memproyeksikan rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun ke depan mencapai 8 persen. “Saya optimistis, angka 8 persen itu achievable (dapat dicapai, Red),” ujarnya usai serah terima jabatan dengan Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani tadi malam (22/10).
Menurut Hatta, pertumbuhan tersebut bisa dicapai dengan menyeimbangkan stabilitas sektor makro dan pertumbuhan sektor riil. “Keseimbangan itulah yang akan menciptakan pertumbuhan yang berkualitas,” katanya.  Hatta menyebut, parameter pertumbuhan berkualitas bisa dilihat dari turunnya angka kemiskinan dan terciptanya lapangan kerja sehingga menekan angka pengangguran. “Itu tujuan akhir yang ingin dicapai,” ucapnya.  Lalu, strategi apa yang akan diterapkan? Menurut Hatta, salah satu kunci pertumbuhan adalah arus investasi. Untuk itu, upaya mendorong investasi akan menjadi prioritas. “Misalnya, pemberian insentif untuk investor di daerah remote (terpencil, Red),” terangnya.
Hatta mengakui, posisi sebagai Menko Perekonomian memang baru baginya. Dia juga mengaku belum cukup memiliki background di bidang ekonomi. “Tapi, fungsi menteri koordinator lebih pada aspek koordinasi. Dengan pengalaman menduduki pos menteri sebanyak tiga kali sebelumnya, saya optimistis bisa menjalankan tugas ini. Apalagi, tim ekonomi ini sudah mumpuni, saya tinggal mengkoordinir,” katanya.
Mantan Plt Menko Perekonomian yang juga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, kemampuan koordinasi yang dimiliki Hatta Rajasa sudah terbukti saat menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara. “Kami para menteri ekonomi siap mendukung penuh untuk mencapai target-target yang sudah dicanangkan pemerintah,” ujarnya.
Pengamat yang juga Ketua Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro menilai, sosok Hatta sebagai politisi senior cocok untuk menduduki pos Menko Perekonomian. ”Sosok politisi akan lebih lincah untuk mengkoordinir para menteri, termasuk untuk lobi dengan DPR,” katanya. (Jawapos)

Program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2
Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono periode 2009-2014 mengucapkan sumpah dalam upacara pelantikan di gedung Nusantara MPR/DPR Jakarta. Dalam pidatonya presiden mengungkapkan tentang ‘’Kami telah menetapkan program 100 hari, satu tahun dan lima tahun ke depan,’’ katanya.
Menurut Yudhoyono, program kerja lima tahun difokuskan pada tiga hal penting yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penciptaan keadilan yang lebih baik. Pengucapan sumpah tersebut disaksikan oleh Ketua Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Taufik Kiemas dan Pimpinan MPR lainnya serta anggota MPR/DPR terpilih periode 2009/2014.
Sebelum dilakukan pengucapan sumpah, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim membacakan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai hasil pemilihan Presiden 2009.  Dalam petikan keputusannya, KPU menetapkan pasangan Yudhoyono-Boediono sebagai pemenang pemilihan presiden 2009 dengan perolehan suara sah nasional dari 33 provinsi sebesar 73,87 juta atau 60,80 persen suara.
Sementara, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto menempati posisi kedua dengan hasil perolehan suara sah nasional sebesar 32,55 juta atau 26,79 persen suara, sedangkan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto meraih 15,81 juta atau 12,41 persen suara.
Acara tersebut dihadiri oleh lima kepala negara sahabat, yaitu dari Timor Leste, Brunai darulsalam, Malaysia, singapor.
Dalam kesempatan itu juga hadir Wapres Jusuf Kalla, mantan Presiden Republik Indonesia B. J. Habibie dan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.
Selain itu, sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu pertama juga tampak hadir, diantaranya Mendagri Mardiyanto, Menpera Muhammad Yusuf Asy’ari, Mendag Mari E. Pangestu.  Juga dihadiri oleh sejumlah utusan khusus negara sahabat, di antaranya Anggota Parlemen Jepang Kozo Watanabe, Anggota Parlemen Republik Korea Selatan Lee Sung Deuk, Menteri Perdagangan Selandia Baru Tim Grosser, Menteri Luar Negeri Filipina Alberto Gaitmatan Romulo, Menteri Lingkungan Hidup Amerika Serikat Lisa P Jackson , Utusan Republik Ceko Hynek Kmoniche, dan Menteri Energi Srilanka W. D. J. Senewiratne.


Yayasan Agro Ekonomika (YAE) menilai, kinerja bidang ekonomi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam satu tahun terakhir relatif tidak berubah.  Data-data BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa keadaan relatif tidak berubah," kata Ketua YAE Noer Sutrisno di Jakarta, Rabu (20/10). Penegasan ini juga terkait evaluasi kinerja tim ekonomi KIB Jilid II dalam setahun pertama.
Noer Sutrisno menjelaskan, perbaikan kinerja ekonomi makro bukan semata-mata menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja pemerintahan. "Faktanya, masih banyak warga miskin yang tak mampu menikmati akses ekonomi dan pasar, seperti para petani yang selalu jadi korban mekanisme pasar dan masih menjadi masyarakat miskin," tuturnya.
Karena itu, pemerintah harus berani menghasilkan opsi alternatif atau pendekatan lain yang bernilai tambah tinggi dan bisa dinikmati masyarakat banyak. Dalam hal ini tidak monoton dan hanya sebatas wacana. Salah satu pendekatan untuk penanggulangan kemiskinan, yakni dengan mengutamakan pembangunan berkelanjutan dan bukan dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, anggota DPR M Romahurmuziy meminta pemerintah membenahi sektor riil, terutama pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).  "Dalam empat tahun ke depan ini perlu adanya strategi pembangunan ekonomi yang lebih berpihak. Dan, ini dimulai dari sektor riil, terutama UMKM," katanya.  Menurut dia, pemerintah jangan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memenuhi aspek distribusi atau pemerataan yang berkeadilan. "Klaim capaian atau keberhasilan ekonomi makro oleh pemerintah mesti diimplementasikan, terutama dengan membaiknya kesejahteraan rakyat," tuturnya.
Romahurmuziy, yang akrab disapa Romy ini, lebih jauh mengatakan, pemerintah memang memenuhi target-target ekonomi makro. Berdasarkan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP) 2010, beberapa target ekonomi makro yang ditetapkan meliputi pertumbuhan ekonomi 5,8 persen, inflasi 5,3 persen, kurs Rp 9.200 per dolar AS, tingkat suku bunga SBI 3 Bulan 6,5 persen, harga minyak 80 dolar AS per barel, dan produksi bersih minyak 965.000 barel per hari.
Berdasarkan data terbaru yang dihimpun BPS dan Bank Indonesia, capaian masing-masing asumsi meliputi pertumbuhan ekonomi 5,93 persen, inflasi 6,22 persen, rata-rata kurs tengah BI Rp 9.112,85 per dolar AS, SBI 3 Bulan 6,5 persen, rata-rata harga minyak dunia 79 dolar AS per barel, dan rata-rata realisasi produksi minyak 918.370 barel per hari.
Menurut Romy, dari berbagai asumsi ekonomi makro yang ditetapkan di dalam APBNP 2010, hanya inflasi dan produksi minyak yang tidak tercapai. Padahal kedua asumsi ini memiliki keterkaitan yang kuat terhadap postur APBN dan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan target pertumbuhan ekonomi, suku bunga SBI, dan nilai tukar yang dapat dicapai oleh pemerintah ternyata belum terefleksikan ke sektor riil dan kehidupan sosial masyarakat. Hingga saat ini, jumlah pengangguran terbuka masih sebesar 8,59 juta dan jumlah penduduk miskin 31,32 persen dari jumlah penduduk.
Di tempat terpisah, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Bahkan tidak hanya dalam tatanan level ekonomi makro saja.  "Kita harus pakai data, tumbuh kok industri kita 4,6 persen. Kalau bahwa masih banyak yang harus kita kerjakan, ya, (tapi) pengangguran dan kemiskinan menurun, kesejahteraan meningkat diukur dari PDB (produk domestik bruto) per kapita mencapai 3.000 (dolar AS)," katanya.  Hatta justru mempertanyakan pihak-pihak yang mengatakan kinerja ekonomi memburuk, termasuk indikator apa yang digunakan untuk menjustifikasi hal tersebut.  "Dari segi apa ukuran yang mengatakan kita tidak maju. Saya katakan (ada perumpamaan) kita harus melihat, gelas belum penuh dikatakan masih kosong. Tapi, kita berpikir gelasnya sudah 60 persen penuh, tinggal 40 persen. Mari bersama-sama kita kerjakan. Ini pola pikirnya," ujarnya.
Hatta sendiri tidak menampik bahwa masih banyak kendala dalam proses peningkatan perekonomian. Namun, ini bukan berarti tidak ada pencapaian yang telah dilakukan para menteri di bidang ekonomi. "Benar, masih banyak kendala. Tapi, bukan berarti tidak ada kemajuan," tutur Hatta.  Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana mengatakan, tingkat kemiskinan menurun sebesar 0,8 persen selama setahun kerja KIB Jilid II. Pemerintah menilai, ini merupakan sesuatu yang luar biasa.  "Tingkat kemiskinan Februari 2009 sebesar 14,15 persen dan sampai Maret 2010 sebesar 13,3 persen. Jadi, ada pengurangan 0,8 persen dalam satu tahun terakhir," ucapnya. "Setiap negara, jika per tahunnya bisa menurunkan kemiskinan 0,1 persen, ini oke. Kalau turun 0,1-0,3 persen, ini lebih baik. Sedangkan turun 0,3-0,5 persen ini baik dan lebih dari 0,5 persen ini luar biasa. Kita paling tidak sudah 0,8 persen," kata Armida.
Bappenas menargetkan, tingkat kemiskinan penduduk Indonesia akan berada di level 13,5 persen pada 2011. Dari target pertumbuhan ekonomi 6,4 persen pada 2010, pemerintah setidaknya optimistis bisa mencapai level 6 persen. "Kita harapkan bisa lebih tinggi lagi dari 6 persen untuk mencapai target. Realisasi per hari ini sudah 6,22 persen," ucapnya.
Terkait hal ini, Deputi Bidang Kemiskinan Ketenagakerjaan dan Usaha Kecil Menengah Bappenas Prastijono Widjojo mengatakan, pemerintah akan menyalurkan dana sebesar Rp 49,3 triliun untuk pengentasan kemiskinan pada 2011. Struktur pendanaan ini tertuang dalam program prioritas pemerintah pada rencana kerja dan anggaran pemerintah (RKAP) 2011.  "Di kementerian/lembaga negara saja, yang masuk program prioritas dalam RKAP 2011 untuk anggaran kemiskinan sebesar Rp 49,3 triliun," ucapnya.
Selain dana pengentasan kemiskinan, ada pola alokasi dana lain yang masuk dalam prioritas anggaran, di antaranya Rp 52,5 triliun untuk anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan Rp 11,5 triliun.  Anggaran pengentasan kemiskinan yang telah disepakati nantinya akan didistribusikan melalui program pemerintah, di antaranya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sebesar Rp 13,138 triliun, penjaminan kredit usaha rakyat Rp 2 triliun, serta Program Keluarga Harapan Rp 1,3 triliun. (Indra/Antara/Andrian)
Perubahan Ekonomi dan Penyusunan Kabinet

Salah satu fokus kerja SBY-Boediono pada masa 2009-2014 adalah perbaikan ekonomi. Seperti yang kita ketahui, dengan komposisi pemegang kebijakan ekonomi 2004-2009, ekonomi Indonesia tidak dapat dikatakan stagnan, apalagi membaik. Utang luar negeri saja bertambah empat ratus triliun sejak kepemimpinan kakek bercucu satu ini (1268 triliun tahun 2004 dan menjadi 1667 triliun tahun 2009). Komposisi tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yang tidak perlu disebutkan itu, kini dipercaya kembali oleh SBY untuk mengurusi masalah hajat masyarakat Indonesia yang paling vital tersebut. Isu perbaikan ekonomi lebih seperti sikap reaktif SBY atas instabilitas ekonomi global pada masa kampanye silam. Jika dengan komposisi tim ekonomi seperti itu saja utang Indonesia bertambah, maka logikanya dengan tim ekonomi yang sama tidak akan terjadi perubahan yang signifikan.
Beberapa hari sebelum pelantikan, ada banyak orang yang diundang ke kediaman presiden terpilih di Cikeas, Bogor. Undangan bertajuk ‘tes kesehatan’ itu dihadiri oleh orang-orang yang memang sudah hampir pasti menjadi menteri (baca: pembantu) pada kabinet 2009-2014. Sekilas, sebagian besar orang-orang yang datang merupakan wajah lama di kancah perpolitikan nasional pada umumnya dan di pemerintahan pada khususnya. Hatta Radjasa (mantan Menteri Sekretaris Negara), Sri Mulyani (mantan Menko Ekonomi merangkap Menteri Keuangan), Andi Malarangeng (mantan Juru Bicara Bidang Dalam Negeri Presiden), Purnomo Yusgiantoro (mantan Menteri ESDM), dan Mari Elka Pangestu (mantan Menteri Perdagangan) adalah sebagian dari banyak ‘orang lama’ yang menghadiri undangan tersebut. “Bongkar pasang ‘pembantu’ presiden” (meminjam istilah Trans-7) tersebut layaknya acara bagi-bagi kursi dengan proporsi yang rapi. Sesuai proporsi partai politik (parpol) pendukung? Sesuai proporsi tim sukses? Mungkin tidak sepenuhnya benar, karena Golkar pun sepertinya akan masuk dalam kabinet.
Pusat perhatian kita tertuju kembali pada tim ekonomi. Dengan orang-orang yang sama, maka paham dan kebijakan ekonomi Indonesia belum akan menjadi ekonomi kerakyatan, tetapi hanya menjadi ekonomi kapitalis dengan bungkus kerakyatan. Mafia Berkeley yang menganut paham ekonomi trickle down effect itu akan memberikan keuntungan berlipat kepada pengusaha, namun belum tentu akan memberikan keuntungan yang sedikit kepada masyarakat.














Daftar Pustaka
Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan.1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI:Jakarta.






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar